Legenda Rawa Pening Dan Pesan Moral Yang Ada Didalamnya!


Selain terkenal dengan tradisi dan keseniannya, Kota Semarang juga terkenal dengan cerita legenda Rawa Pening. 

Ya, Legenda Rawa Pening sendiri adalah cerita rakyat zaman dahulu yang mengisahkan tentang awal mula terbentuknya danau atau Rawa Pening.

Baca Juga: Sejarah Gambang Semarang: Akulturasi Budaya Dalam Seni Tradisi 

Danau tersebut saat ini menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Semarang. Lalu, bagaimana asal muasal Legenda Rawa Pening? 

Legenda Rawa Pening Dan Pesan Moral Yang Ada Didalamnya!

Legenda Rawa Pening 

Legenda Rawa Pening menceritakan tentang pasangan suami istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang tinggal di Desa Ngasem tepatnya di lembah Gunung Merbabu dan Telomoyo. 

Rawa Pening sendiri merupakan sebuah danau yang menjadi objek wisata di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. 

Terdapat sebuah legenda turun temurun yang mengisahkan tentang awal mula terbentuknya danau ini. 

Kisahnya sendiri yaitu pada zaman dahulu terdapat sebuah desa yang bernama Ngasem. Desa ini terletak di lembah Gunung Merbabu dan Telomoyo. 

Baca Juga: Sejarah Watu Dodol Banyuwangi dan Legendanya

Di desa tersebut terdapat sepasang suami istri yang bernama Ki Hajar dan istrinya yang bernama Nyai Selakanta. 

Pasangan ini dikenal sebagai orang yang murah hati dan suka menolong sehingga sangat dihormati masyarakat. 

Hubungan mereka dengan masyarakat sangatlah baik dan rumah tangganya juga sangat harmonis walaupun belum dikaruniai anak. 

Suatu hari, Nyai Selakanta mengutarakan keinginannya untuk segera menimang buah hati. 

Demi mewujudkan keinginan sang istri, Ki Hajar bertapa ke lereng Gunung Telomoyo sampai berbulan-bulan. 

Sebagai istri, Nyai Selakanta pun mulai mengkhawatirkan keadaan suaminya yang masih tak kunjung pulang. 

Ditengah rasa cemas ini, secara ajaib ternyata Nyai Selakanta mengandung seorang anak di rumahnya sendirian. 

Namun ketika melahirkan, betapa terkejutnya dia ketika melihat seekor naga lahir dari perutnya. Anak itu diberi nama Baru Klinting yang diambil dari nama tombak milik sang suami.

Kata “Baru” diambil dari kata “bra” yang artinya yaitu keturunan Brahmana yang merupakan seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. 

Baca Juga: Menguak Mitos Selat Bali Secara Lengkap!

Sedangkan kata “Klinthing” mengandung arti lonceng. Walaupun berwujud seperti naga, ternyata Baru Klinthing bisa berbicara layaknya manusia. 

Karena malu telah melahirkan seekor naga, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing secara sembunyi-sembunyi. 

Nyai Selakanta juga berencana untuk membawa anaknya ke bukit Tugur agar jauh dari warga. 

Seiring berjalannya waktu, Baru Klinting pun beranjak dewasa dia kemudian menanyakan tentang ayahnya. 

Nyai Selakanta kemudian mengutus anaknya untuk menemui ayahnya yang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. 

Baru Klinting juga dititipi sebuah pusaka berupa tombak Baru Klinting milik ayahnya. Sesampainya di lereng gunung, Baru Klinting langsung sujud di hadapan ayahnya yang sedang duduk bertapa. 

Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika seekor naga tersebut adalah anaknya. Namun Baru Klinthing kemudian menunjukkan pusaka milik ayahnya tersebut. 

Ki Hajar meyakini jika pusaka tersebut memang miliknya namun dia belum percaya jika naga tersebut adalah anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru Klinthing untuk melingkari Gunung Telomoyo. 

Dengan kesaktiannya, Baru Klinthing bisa melingkari gunung tersebut. Ki Hajar akhirnya percaya jika naga tersebut adalah anaknya. 

Baca Juga: Arti Mimpi Mati Suri, Sebuah Peringatan Penting

Setelah itu, Ki Hajar kemudian memerintah Baru Klinthing untuk bertapa di Bukit Tugur agar tubuhnya berubah menjadi manusia. 

Kisah Lanjutan Ketika Baru Klinting Bertapa Di Bukit Tugur

Sementara itu, terdapat sebuah desa yang bernama Pathok dimana desa ini sangatlah makmur namun sayang penduduknya dikenal sangat angkuh. 

Suatu hari, penduduk desa Pathok bermaksud untuk mengadakan sebuah pesta sedekah bumi setelah panen. Merekapun kemudian berburu binatang ke Bukit Tugur.

Singkat ceritanya, penduduk desa tersebut menemukan Baru Klinthing. 

Penduduk desa tersebut kemudian langsung beramai-ramai menangkap Baru Klinthing dan kemudian memotong dagingnya untuk dijadikan hidangan. 

Saat para penduduk desa Pathok sedang asyik berpesta, datanglah anak laki-laki yang penuh dengan luka dan berbau amis. 

Anak itu sendiri adalah jelmaan dari Baru Klinting. Dia meminta makanan namun sayang warga desa tersebut justru memaki serta mengusirnya. 

Anak laki-laki itu kemudian meninggalkan desa dan di tengah perjalanannya, dia bertemu dengan seorang janda yang bernama Nyi latung. 

Nyi Latung mengajak anak laki-laki tersebut pergi ke rumahnya dan memberikan makanan. 

Dalam perbincangannya, Baru Klinthing menyarankan agar warga di desa tersebut diberikan pelajaran. 

Baru Klinting meminta Nyi Lantung jika mendengar suara gemuruh untuk segera menyiapkan alat tumbuk padi yang terbuat dari kayu alias lesung. 

Selepas makan, Baru Klinthing pun kembali ke desa tersebut dengan membawa sebatang lidi. Di tengah-tengah keramaian ini, dia menancapkan lidi ke tanah. 

Baca Juga: Mitos Bulan dan Wuku dalam Kalender Jawa!

Baru Klinting meminta warga mencabut lidi tersebut dan tidak seorangpun yang mampu mencabutnya. 

Dengan kesaktiannya, akhirnya Baru Klinting bisa mencabut lidi tersebut dengan mudah. 

Begitu lidi tercabut, suara gemuruh pun menggetarkan seluruh isi desa. Tidak menunggu lama, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi. 

Semakin lama, semburan air tersebut semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. 

Semua penduduk desa tersebut tenggelam dan desa itu berubah menjadi rawa atau yang kini disebut sebagai Rawa Pening. 

Setelah melihat lautan air, Baru Klinthing menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. 

Dia dan nenek tersebut selama dan setelah itu Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening. 

Tentang Kisah Legenda Baru Klinting Danau Rawa Pening

Nah itulah sekilas tentang legenda Rawa Pening. Dari cerita rakyat tersebut terdapat pesan moral didalamnya. 

Pesan moral tersebut yaitu sifat angkuh dan sombong adalah sifat yang tidak terpuji. Saling menolong merupakan sifat terpuji yang patut dicontoh. 

Baca Juga: Daftar Ritual Keagamaan Dalam Kalender Jawa, Unik!

Saat menolong tentunya kita tidak boleh pandang bulu, siapa saja harus kita tolong selama kita mampu. 

Mudah-mudahan informasi kisah masyarakat Danau Rawa Pening diatas dapat menjadi referensi serta menambah wawasan. Semoga bermanfaat!

Review Google My Bussiness for Enkosa.com

Artikel Terkait: