Sejarah dan Makna Tradisi Lamaran dalam Adat Jawa


Adat Jawa merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang sarat dengan simbol, nilai, serta tradisi yang dijaga turun-temurun.

Salah satu rangkaian penting dalam prosesi pernikahan adat Jawa adalah acara lamaran atau serah-serahan.

Tradisi ini menjadi momentum awal untuk mempertemukan kedua keluarga dan membangun kesepakatan terkait rencana pernikahan.

Artikel ini akan mengulas sejarah, makna, dan detail prosesi lamaran atau serah-serahan dalam adat Jawa agar lebih mudah dipahami.

Pengenalan Tradisi Lamaran dalam Adat Jawa

Lamaran atau serah-serahan dalam adat Jawa bukan hanya sekadar prosesi formalitas, tetapi juga perwujudan rasa hormat dan niat baik pihak calon pengantin pria kepada keluarga calon pengantin wanita.

Secara historis, dalam masyarakat Jawa kuno, pernikahan bukanlah urusan dua individu semata, namun juga melibatkan dua keluarga besar.

Dengan demikian, acara lamaran berfungsi untuk mempertimbangkan kecocokan nilai, visi, dan tradisi di antara kedua keluarga.
Dewasa ini, walaupun telah terjadi berbagai akulturasi budaya, tradisi lamaran tetap diminati dan dianut oleh banyak keluarga Jawa modern.

Walaupun bentuknya bisa lebih sederhana, makna persatuan, kekeluargaan, serta simbolislah yang tetap dipertahankan.

Dalam prosesnya, rombongan dari pihak pria datang membawa seserahan atau barang-barang persembahan.

Barang-barang ini melambangkan niat untuk menjaga dan menafkahi calon pengantin wanita.

Baca Juga: 5 Mitos Larangan Pernikahan dalam Adat Jawa

Tahap Persiapan dan Pelaksanaan Lamaran

Dibawah ini adalah tahap-tahap persiapan pelaksanaan lamaran dalam tradisi jawa:

1. Persiapan Keluarga Calon Pengantin Pria

Sebelum hari lamaran, keluarga calon pengantin pria akan menyiapkan berbagai hal, mulai dari seserahan, penyusunan rombongan, hingga penunjukan juru bicara.

Juru bicara tersebut dipercaya untuk menjelaskan maksud kedatangan, menegaskan keseriusan, serta memandu prosesi agar berjalan lancar.

2. Penerimaan oleh Keluarga Calon Pengantin Wanita

Keluarga calon pengantin wanita juga mempersiapkan diri. Mereka menyiapkan hidangan, tempat, dan suasana yang nyaman untuk menerima kunjungan.

Dalam tradisi Jawa, tamu – terutama yang membawa niat baik – harus disambut dengan penuh hormat.

Hal ini menjadi cerminan nilai “unggah-ungguh” atau tata krama yang kuat dalam budaya Jawa.

3. Pembukaan dan Penyampaian Niat

Pada saat hari H, rombongan pihak pria akan datang dengan membawa seserahan.

Setelah diterima secara resmi, juru bicara dari pihak pria menyampaikan maksud kedatangan, yakni lamaran atau serah-serahan.

Ia mengungkapkan keinginan pihak pria untuk meminang calon pengantin wanita dan melanjutkan ke jenjang pernikahan.

4. Serah-Serahan

Selanjutnya, barang-barang seserahan diserahkan simbolis kepada pihak wanita.

Barang-barang tersebut terdiri dari berbagai hal yang umumnya melambangkan niat baik untuk memenuhi kebutuhan calon mempelai, mulai dari cincin, seperangkat alat salat, hingga makanan atau kue tradisional.

5. Diskusi Tanggal dan Rincian Pernikahan

Biasanya, keluarga besar kemudian akan berdiskusi untuk menentukan tanggal, waktu, serta rincian pelaksanaan akad dan resepsi.

Tahap ini menjadi penting karena kesepakatan bersama antara kedua belah pihak menjadi landasan kelancaran prosesi-prosesi selanjutnya.

Makna dan Ragam Isi Seserahan Pada Tradisi Lamaran dalam Adat Jawa

Seserahan dalam tradisi Jawa memiliki peran yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Selain berfungsi sebagai simbol penjagaan, seserahan juga menjadi ungkapan keikhlasan dan kesiapan pihak pria dalam memulai kehidupan rumah tangga.

Beberapa barang seserahan yang umum dibawa antara lain:

1. Cincin Pertunangan

Cincin biasanya menjadi simbol utama yang menandakan bahwa kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Bagi beberapa keluarga, cincin yang diserahkan bisa berupa cincin bermata batu mulia atau sekadar cincin emas.

Namun, maknanya tetap sama, yaitu mengikat hati kedua mempelai.

2. Seperangkat Alat Salat

Bagi masyarakat Jawa yang mayoritas Muslim, seperangkat alat salat (mukena, sajadah, dan Al-Qur’an) kerap menjadi barang yang wajib dalam seserahan.

Hal ini menggambarkan harapan bahwa kedua mempelai kelak akan selalu mengingat dan mendasarkan kehidupan rumah tangga mereka pada nilai-nilai spiritualitas.

3. Makanan Tradisional

Beberapa jenis makanan tradisional khas Jawa juga kerap disertakan, seperti lauk-pauk, kue tradisional, hingga jajanan pasar.

Salah satu kue yang hampir selalu hadir adalah kue jadah atau wajik.

Ada juga keluarga yang menambahkan buah-buahan sebagai lambang kesegaran dan kesuburan.

Baca Juga: 9 Jenis Barang Hantaran Pernikahan Adat Jawa

Filosofi “Kue Jadah”: Simbol Kelengketan

Kue jadah atau wajik dibuat dari beras ketan, serta memiliki tekstur yang lengket dan legit.

Kue ini dapat ditemukan dalam tiga varian warna, yaitu putih, merah, dan kuning.

Filosofinya adalah agar pasangan pengantin kelak senantiasa “lengket” satu sama lain dalam ikatan cinta, kebersamaan, dan keharmonisan.

Dalam tradisi Jawa, makanan berbahan dasar ketan begitu lekat dengan simbol-simbol persatuan karena sifatnya yang merekat.

Selain jadah, makanan lain seperti jenang dan kue lapis juga sering diikutsertakan dalam seserahan.

Masing-masing memiliki makna filosofis tersendiri, seperti jenang yang dianggap lambang doa untuk kebahagiaan yang manis dan kue lapis yang menandakan pernikahan akan bertahan melalui berbagai lapisan cobaan.

Diskusi dan Kesepakatan Keluarga

Salah satu poin penting dalam acara lamaran atau serah-serahan adalah tercapainya kesepakatan antara kedua keluarga.

Tidak hanya sekadar menjalin hubungan antar-dua individu, melainkan membangun kolaborasi dua keluarga besar.

Dalam prosesi tersebut, setiap pihak saling mengenal latar belakang keluarga masing-masing.

1. Penentuan Tanggal Akad dan Resepsi

Penentuan tanggal pernikahan biasanya dilakukan setelah mempertimbangkan hari baik, penanggalan Jawa, serta situasi dan kondisi keluarga masing-masing.

Meskipun kini banyak keluarga yang lebih fleksibel dan mempertimbangkan aspek kemudahan, penggunaan weton (hari lahir menurut penanggalan Jawa) masih menjadi salah satu acuan penting bagi beberapa keluarga Jawa tradisional.

2. Penyepakatan Tempat dan Tata Cara Prosesi

Selain tanggal, tempat pelaksanaan akad hingga resepsi juga dibicarakan.

Bagi keluarga Jawa yang lekat dengan tradisi, prosesi pernikahan dapat meliputi beberapa tahapan, misalnya siraman, midodaren, hingga panggih – yang semuanya penuh dengan simbol dan nilai kearifan lokal.

3. Integrasi Nilai Tradisi dan Modern

Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa keluarga memilih untuk memadukan adat Jawa dengan budaya modern.

Misalnya, dilanjutkan dengan sesi foto lamaran ala masa kini, penggunaan dekorasi modern, atau mempersingkat beberapa ritus jika dirasa terlalu panjang.

Peran dan Tanggung Jawab Keluarga Besar

Dalam tradisi Jawa, keluarga besar memiliki peran signifikan.

Sesepuh keluarga biasanya dilibatkan dalam perundingan terkait tanggal, prosesi, dan aturan-aturan tertentu.

Hal ini bukan untuk membatasi kebebasan calon pengantin, namun lebih sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan menjaga harmoni keluarga.

Bagi masyarakat Jawa, restu orang tua dan keluarga besar menjadi “soko guru” (tiang utama) yang akan menunjang keberlanjutan rumah tangga.

Mengapa Tradisi Lamaran Penting untuk Dilestarikan?

Dibawah ini adalah alasan mengapa tradisi lamaran ini begitu penting bagi warga keturunan jawa:

1. Menjalin Kekerabatan yang Lebih Dekat

Lamaran menjadi momen penting untuk mengenal keluarga pasangan.

Dalam suasana akrab, kedua keluarga dapat bertukar cerita, membangun kedekatan, serta mempelajari latar belakang masing-masing.

2. Melestarikan Nilai Budaya dan Sosial

Prosesi lamaran juga menjadi sarana untuk mewariskan nilai adat, budi pekerti, dan tata krama Jawa.

Generasi muda yang mengadopsi tradisi ini secara langsung belajar bagaimana menghargai pendapat orang tua, menghormati tamu, serta menjadi tuan rumah yang baik.

3. Memupuk Keharmonisan dan Keseriusan

Lewat lamaran, pihak wanita bisa melihat keseriusan pihak pria.

Upaya menyiapkan seserahan, meluangkan waktu berdiskusi, serta bertemu langsung dengan keluarga besar adalah wujud komitmen bersama untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Setelah semua pembicaraan dan prosesi lamaran atau serah-serahan selesai, biasanya kedua keluarga menutup pertemuan dengan doa.

Di sini, doa dipanjatkan agar segala rencana pernikahan lancar, mulai dari persiapan hingga hari H, dan nantinya rumah tangga yang dibangun menjadi sakinah, mawaddah, warahmah.

Baca Juga: 10 Filosofi Pernikahan Adat Jawa Yang Sakral

Dengan adanya pekerjaan kolektif dan rasa saling menghormati, tradisi Jawa, termasuk lamaran dan seserahan, akan terus hidup sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya bangsa Indonesia.

Demikianlah gambaran mengenai sejarah, makna, dan tahapan tradisi lamaran atau serah-serahan dalam adat Jawa.

Semoga penjelasan ini dapat membantu kita memahami pentingnya prosesi tersebut dan seluruh nilai filosofis di baliknya.

Apabila dirasa perlu, kita bisa memadukan unsur modern, tanpa meninggalkan esensi dan nilai kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Review Google My Bussiness for Enkosa.com

Artikel Terkait: