Inilah Sekilas Tentang Sejarah 5 Februari, Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provincien)
Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi atau Zeven Provincien merupakan sebuah pemberontakan yang terjadi di atas kapal angkatan laut kerajaan Belanda di Lepas Pantai Sumatera pada tanggal 5 Februari 1933.
Baca Juga: Ucapan Selamat Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi 5 Februari
Dari peristiwa tersebut maka pada tanggal 5 Februari selalu diperingati sebagai Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provincien).
Bagaimana sebenarnya sejarah 5 Februari, Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provincien)? Simak berikut ulasannya!
Berikut Sekilas Sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provincien) 5 Februari
Peristiwa bersejarah ini berawal pada tanggal 1 Januari 1933 dimana Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis De Jonge mengumumkan kebijakan yaitu akan memotong gaji pegawai pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebesar 17%.
Lihat Juga: Sejarah Hari Dermaga 17 Juni
Penurunan gaji tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran belanja yang diakibatkan oleh depresi ekonomi yang melanda dunia ketika itu.
Mendengar keputusan tersebut, pada tanggal 30 Januari 1933, di Surabaya yang sekaligus merupakan pangkalan utama Angkatan Laut Belanda, telah terjadi unjuk rasa besar-besaran para pelaut Indonesia terhadap Pemerintah Kolonial.
Para jajaran komando KM dengan cepat memblokir semua pemberitaan tentang unjuk rasa tersebut agar tidak menimbulkan kekacauan yang lebih besar lagi.
Namun sayang, berita tersebut telah dibocorkan melalui radio kepada seluruh pelaut yang bertugas di luar Surabaya.
Baca Juga: Sejarah Hari Laut Sedunia 8 Juni
Sampai akhirnya, kabar tersebut didengar oleh Maud Boshart yang merupakan Pelaut asal Belanda yang bertugas di atas kapal perang Belanda Hr. Ms. De Zeven Provincien yang sedang melakukan patroli di Barat Aceh.
Merespon gerakan unjuk rasa tersebut, para pelaut yang berada di kapal tujuh melakukan rapat. Rapat tersebut diikuti oleh beberapa orang seperti Rumambi, Gosal, Paraja dan Hendrik.
Mengetahui kabar yang sudah tersebar, komandan kapal memerintahkan semua awak kapal untuk berkumpul dan menegaskan untuk tidak meniru contoh yang telah dilakukan oleh para pendemo yang terjadi di Surabaya.
Namun pidato yang bernada ancaman tersebut tidak menurunkan semangat perlawanan para awak kapal.
Dua awak kapal berdarah Indonesia yaitu Paraja dan Rumambi akhirnya memimpin sebuah gerakan untuk pemberontakan di atas kapal tujuh tersebut.
Lihat juga: Sejarah Hari Kavaleri 9 Februari Yang Wajib Diketahui!
Mereka juga telah memutuskan akan membawa kapal perang milik Belanda tersebut ke Surabaya.
Rumambi dan Paraja mendorong sebuah pertemuan darat dimana dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh beberapa orang.
Mereka adalah Posuma, Gosal, Kaunang, Delakrus, Kawilarang, Hendrik, Luhulima, Posuma, Pelupessy, Suparjan, Tuanakotta, Sudiana, J Parinussa, Luhulima, Manuputi, Abas dan Supusepa.
Selain awak kapal berdarah Indonesia hadir juga Maud Boshart dan pelaut Belanda yang setuju dengan rencana pemberontakan tersebut.
Puncak Pemberontakan Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provincien)
Pada tanggal 4 Februari 1933, para perwira Belanda membuat suatu kesalahan. Untuk menenangkan situasi, mereka mengadakan sebuah pesta di kantin KNIL di Ulee Lheue, Aceh.
Baca Juga: 35 Ucapan Selamat Hari Bela Negara 19 Desember
Mereka membuang-buang uang sebesar 500 Gulden serta menyediakan nona-nona Belanda untuk berdansa dengan para pelaut pribumi.
Namun ketika itu para pelaut asal Indonesia menolak untuk hadir. Pada malam hari, tiba-tiba seorang letnan yang berpesta di darat memerintah Boshart untuk membawanya pulang ke kapal.
Sesampainya di kapal ternyata perwira jaga yang berada di kapal sudah meninggal.
Menurut sejarah, perwira jaga tersebut di bantai oleh Martin Paradja di tangga kapal. Dengan kata lain pada malam harinya kapal tersebut telah dikuasai oleh awak kapal pribumi yang bersenjata.
Meriam kapal sudah terisi, lampu sein telah dicopot. Martin Paradja dan Gosal memberikan perintah dengan raut wajah yang sangat keras.
Lihat Juga: Sejarah Hari Lahan Basah Sedunia 2 Februari
Tepat pada pukul 22.00 malam, peluit panjang berbunyi sebagai tanda bahwa pemberontakan dimulai.
Para awak kapal pribumi melakukan pengambilalihan kendali kapal dari tangan sekutu. Awak kapal pribumi dipimpin langsung oleh Gosal dan Paraja sedangkan awak kapal Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd.
Semua awak kapal memiliki tugasnya masing-masing sesuai dengan kemampuannya.
Akhirnya pada tanggal 5 Februari atau keesokan harinya pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa yaitu Indonesia, Belanda dan Inggris.
Mereka memberitahukan bahwa kapal perang Hr. Ms. De Zeven Provincien telah diambil alih oleh pribumi dan sedang bergerak ke Surabaya dengan maksud yang sama yaitu memprotes pemotongan gaji.
Mendengar berita tersebut, pemerintah Kolonial Hindia Belanda dibuat kalang kabut. Gubernur Jenderal memerintahkan Kapal Hr. Ms Aldebaren untuk mengejar.
Ketika kapal tersebut mendekat, Kawilarang yang bertugas dalam persenjataan memberikan sinyal untuk menembak jika kapal tersebut berani mendekat.
Baca Juga: Sejarah Hari Rotary Club 23 Februari
Akhirnya kapan Aldebaren tersebut mundur dan berhenti untuk mengejar. Namun pemerintah Belanda tidak berhenti, mereka kembali mengirim kapal penebar ranjau.
Hanya saja lagi-lagi kapal-kapal tersebut tidak berani untuk mendekat karena persenjataan kapal tersebut lebih kecil dibandingkan persenjataan yang dimiliki kapal De Zeven Provincien.
Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provincien) terus berlayar hingga akhirnya pada tanggal 10 Februari 1933, kapal tersebut telah sampai di Selat Sunda.
Begitu memasuki Selat Sunda, kapal perang Hr. Ms. Java yang dikawal oleh dua kapal torpedo langsung membayangi kapal tersebut.
Selain itu, untuk benar-benar melumpuhkan pemberontak Pemerintah Belanda mengerahkan pesawat pembom Dornier.
Lihat juga: Sejarah Peristiwa Serangan Umum
Komandan Kapal Java, Van Dulm mengirimkan telegram kepada kapal De Zeven Provincien untuk segera menyerah.
Namun, Martin Paradja serta kawan-kawannya menolak untuk menyerah. Sesaat kemudian pesawat Dornier berputar-putar di atas kapal De Zeven Provincien lalu mengeluarkan ancaman.
Namun para pelaut pribumi menolak untuk menyerah.
Akhirnya menteri Pertahanan Belanda, Laurentius Nicolaas Deckers memberikan izin kepada para awak untuk penyerangan dengan pesawat militer.
Setelah perintah tersebut akhirnya pada tanggal 10 Februari, tepatnya pukul 9 pagi, bom pertama yang berukuran 50 kg mulai dijatuhkan namun belum mengenai sasaran.
Baca Juga: Sejarah Peringatan Hari Anak Korban Perang Sedunia
Setelah itu bom kedua kembali dijatuhkan dan tepat mengenai geladak kapal. Para pemberontak kembali melakukan perlawanan walaupun beberapa awak mengalami luka-luka.
Sayangnya, kapal tersebut ternyata tidak dilengkapi dengan meriam penangkis serangan dari udara.
Martin Paradja gugur ketika pengeboman. Melihat mulai banyak korban yang berjatuhan akhirnya Kawilarang menggantikan posisi Paradja sebagai pemimpin dan akhirnya menyatakan menyerah serta meminta bantuan medis.
Dari peristiwa tersebut 545 orang awak pribumi serta 81 awak Belanda ditahan. Sebanyak 20 orang awak pribumi dan 3 awak Belanda gugur akibat serangan tersebut.
Sementara Kawilarang yang menjadi pengganti pemimpin pemberontakan selepas kematian Paradja diberikan hukuman selama 18 tahun penjara.
Begitu juga dengan Maud Boshart yang dikenakan hukuman 16 tahun penjara. Sementara sisanya hanya dijatuhi hukuman 6 tahun serta 4 tahun.
Baca Juga: Kalender Mancing Juni 2023 Fase Bulan
Para pemberontak yang berada di Kapal Tujuh Provinsi (De Zeven Provincien) akhirnya ditahan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.
Dampak Dari Pemberontakan Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provincien)
Dari peristiwa tersebut terdapat beberapa dampak, diantara yaitu:
- Gubernur Jenderal De Jonge mendapatkan berbagai serangan dari berbagai pihak atas kebijaksanaannya termasuk kelompok orang Eropa yang membantu pelaut Indonesia seperti Moud Boshart.
- Kaum Nasionalis menjadi kambing hitam terhadap terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintah Hindia Belanda lebih ketat lagi dalam mengawasi kegiatan kaum Nasionalis tersebut.
- Campur tangan pemerintah terhadap semua partai politik Hindia Belanda semakin dalam. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan baru yaitu Haatzai Artikelen yang mana tokoh politik seperti Sutan Syahrir dan Hatta dibuang ke Boven Digul. Selanjutnya Soekarno dibuang ke Ende.
Itulah sekilas tentang sejarah 5 Februari, Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provincien).
Atas peristiwa tersebut akhirnya pada tanggal 5 Februari setiap tahunnya selalu diperingati Hari Kapal Tujuh Provinsi.
Baca Juga: Kalender Bulan Juni 2023 Lengkap
Mudah-mudahan informasi Sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi diatas dapat menjadi referensi untuk kita semua. Semoga bermanfaat!
Pencarian yang paling banyak dicari
- sejarah kapal tujuh provinsi
- kapal perang de zeven provincien tni al
- peringatan peristiwa kapal perang Zeven Provincien
- quotes ucapan kapal Zeven Provincien
- dibalik pemberontakan kapal perang Zeven Provincien